Jumat, 08 Maret 2013

Peran 5Cs dalam analisa Kredit


Peran 5Cs dalam analisa Kredit
Bankir pada umumnya sudah sangat kenal dengan yang namanya lima C, yang digbatunakan untuk menerima atau menolak suatu permohonan kredit. Analisa kredit merupakan proses sebelum dibuat keputusan, yang dibuat tidak atas dasar emosi atau perasaan, melainkan atas dasar kajian mendalam atas kekuatan dan kelemahan debitur.

Secara fundamental, analisis kredit dapat dibagi atas dua bagian, yaitu (1) analisa kualitatif untuk memahami usaha debitur, posisi usaha dalam industri, kondisi persaingan, ancaman pemain baru, risiko teknologi ketinggalan jaman, dan memahami gaya manajemen dari debitur. (2) analisa arus kas atau cash flow, dengan menggunakan laporan keuangan (neraca dan rugi laba), dan melihat arus kas masuk (sumber dana) dan arus kas keluar (penggunaan dana).
C’s dari kredit sudah sejak lama digunakan sebagai alat analisa dengan mempertimbangkan unsur character, capacity, capital, conditions, dan collateral yang merupakan 5Cs untuk menghasilkan kualitas kredit yang baik. Belakangan, kalangan bankir juga memperkenalkan tambahan beberapa C untuk 5Cs tersebut, dan 5Cs yang berbeda untuk menghasilkan kualitas kredit yang buruk.
Dua pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya oleh para analis kredit, yaitu (1) apakah debitur dapat membayar kewajiban? (2) apakah debitur bekeinginan untuk membayar kewajiban.
6 Cs dari Kredit
Analisa kredit sudah berevolusi mulai dari 3C, 4C, 5C dan sekarang sudah banyak yang menggunakan 6C dan dari kredit, sebagai berikut:
1. Character
2. Capacity
3. Capital
4. Conditions
5. Collateral
6. Customer relationships
Character, capacity, capital, conditions, dan collateral merupakan komponen 5C yang sudah kita kenal. Customer relationships merupakan komponen baru yang menggenapkan menjadi 6Cs.

Character (Karakter)
Karakter pada umumnya menempati urutan nomor satu dalam 5C untuk menilai kelayakan kredit. Karakter terkait dengan pertanyaan: apakah debitur mau membayar kewajiban pada bank?
Sebaiknya kredit diberikan hanya kalau debitur mempunyai karakter yang baik, yang akan mempunyai komitmen untuk memenuhi kewajiban sesuai perjanjian kredit,. Namun apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan karakter?
Karakter dapat diartikan berbagai macam antara lain: mempunyai moral yang baik, mencerminkan nilai yang dimiliki debitur dalam menjaga reputasi, kejujuran dan integritas, sopan santun, percaya diri yang tinggi, terhormat, mempunyai kualitas, dan sifat baik lainnya. Namun kenyataannya, bersikap baik dan jujur relatif mudah dilakukan pada saat dalam kondisi baik. Namun dalam kondisi krisis, disini karakter debitur diuji apakah benar mempunyai karakter yang baik.
Sekarang bagaimana dengan pemberian kredit untuk perusahaan? Apakah analis dapat menilai karakter perusahaan? Selama ini walaupun bank berupaya tidak memberikan kredit pada debitur perorangan atau perusahaan dengan karakter meragukan, namun tetap saja bank selalu perlu menghapus kredit bermasalah dari waktu kewaktu. Kemungkinan bank kurang cermat dalam menilai karakter debitur, atau karakter debitur yang dengan berjalannya waktu berubah menjadi kurang baik. 
Apakah layak memberikan kredit pada perusahaan, dimana pemilik perusahaan menolak memberikan jaminan pribadi? Apabila orang tersebut tidak berani mengambil risiko, mengapa bank yang harus berani mengambil risiko tersebut? Contoh lain, bank mungkin tidak akan merasa nyaman memberikan kredit pada debitur yang tidak bersedia menjelaskan tujuan penggunaan kredit tersebut.

Pada saat melakukan analisis, lebih baik analis konsentrasi pada identifikasi potensi masalah, dan menilai bagaimana cara debitur mengatasi permasalahan tersebut. hati-hati apabila debitur memberikan informasi hanya apabila ditanya oleh bank. Satu lagi ciri debitur yang sulit dapat dipercaya, yaitu kalau debitur tidak terus terang mempunyai kredit pada bank lain, sampai ditemukan bahwa ada kewajiban yang belum diungkapkan oleh debitur.

Capacity (kemampuan membayar kewajiban)
Debitur walaupun mempunyai karakter baik, dapat saja tidak mampu untuk melunasi kewajiban. Kemampuan membayar kredit tergantung kapasitas debitur atau kemampuan menghasilkan arus kas. Dalam kasus ini, walaupun debitur berkeinginan melunasi kredit apabila sudah jatuh tempo, namun tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan kas untuk membayar kewajiban, sekaligus meneruskan operasional perusahaan. Oleh sebab itu, analisa mendalam dari kemampuan menghasilkan kas lebih penting diban¬ding¬kan sekedar menilai riwayat hidup direksi atau reputasi debitur pada dunia usaha.
Tingkat kewaspaan harus ditingkatkan pada debitur yang mempunyai riwayat kegagalan dalam usaha. Analis harus menilai kemampuan debitur dalam menghadapi masalah, apakah debitur belajar dari kesalahan, apakah debitur cukup memberikan wewenang pada bawahan untuk memberikan keputusan dalam organisasi.
Sumber utama dari arus kas adalah dari operasional perusahaan, atau operating cash flow, sebagai sumber dana untuk arus kas keluar untuk investasi, dan biaya pendanaan. Sering dikatakan bahwa indikator untuk mengukur kemampuan membayar kewajiban adalah EBITDA (Earning Before Interest and Tax), Namun perlu diingat bahwa EBITDA belum memperhitungkan unsur pendanaan untuk capital expenditure dan tambahan modal kerja. Jadi bisa saja usaha debitur mempunyai EBITDA yang kuat, tapi tidak mampu membeyar kewajiban karena EBITDA tersebut tersedot untuk membiayai capital expenditure dan tambahan modal kerja.
Capital (Modal)
Bagaimanapun karakter dan kapasitas perusahaan, modal tetap diperlukan khususnya untuk membiayai investasi dan modal kerja. Sampai suatu titik tertentu, perusahaan tidak dapat lagi mendanai berbagai kebutuhan pendanaan, tapi memerlukan tambahan kredit modal dari bank, atau dalam bentuk hutang dagang dari pemasok.
Untuk membatasi risiko, analis perlu melakukan evaluasi mengenai struktur modal debitur, khususnya perbandingan antara modal dan hutang perusahaan. Modal equity debitur sebaiknya dilihat sebagai cadangan, tidak sebagai sumber pelunasan kredit. Dalam hal likuidasi, perusahaan harus melakukan likuidasi aset untuk membayar sebagian kewajiban. Jadi modal digunakan untuk melunasi kredit hanya pada saat perusahaan di likuidasi.
Modal equity terdiri dari modal yang disetorkan pemilik, dan akumulasi dari keuntungan perusahaan, yang mencerminkan berapa besar debitur bersedia atau berniat mengambil risiko dari usaha yang dijalankan. Jadi besar modal juga mencerminkan karakter dari debitur.
Preferensi bank agar debitur dapat menempatkan porsi modal lebih besar pada perusahaan sering menjadi keluhan banyak nasabah. Sering terdengar pendapat, bahwa bank hanya memberikan kredit pada saat nasabah tidak membutuhkan, dan berupaya menagih apabila nasabah sedang membutuhkan kredit.  Sementara nasabah sering berkomentar, bahwa apabila mereka memiliki dana sendiri untuk melaksanakan proyek, tentunya nasabah tidak akan ke bank untuk memohon kredit. Jadi sebaiknya bank perlu mengkomunikasikan masalah ini dengan baik pada nasabah. Nasabah paling tidak memiliki dana sendiri terutama pada saat permulaan proyek seperti mendanai biaya pendahuluan, membeli sebagian aset produktif dan modal kerja. Kredit hanya ditujukan agar perusahaan dapat melakukan produksi mencapai titik impas dan memperoleh keuntungan.
Conditions (kondisi ekonomi)
Yang dimaksud dengan condition adalah kondisi ekonomi di suatu negara dan kondisi industri, dimana usaha debitur berada. Bank mengharapkan debitur dapat mempunyai daya tahan yang   tinggi terhadap perubahan kondisi ekonomi dan industri. Apakah usaha akan tahan apabila tingkat penjualan menurun? Dimana industri nasabah terletak dalam siklus bisnis, apakah termasuk usaha yang sedang tumbuh atau sudah mature? Bagaimana daya tahan usaha nasabah apabila ekonomi mengalami resesi? Apakah produk perusahaan mudah digantikan oleh produk lain? Apakah produk nasabah dalam tahapan tumbuh atau sudah jenuh? Dan apakah dapat diperbaharui dengan inovasi produk yang unggul?
Condition merupakan kondisi ekonomi dan lingkungan perusahaan yang dapat mempengaruhi kinerja usaha. Kondisi ekonomi dan lingkungan berada diluar kontrol langsung dari nasabah, namun bank dapat menilai tingkat fleksibilitas manajemen menghadapi perubahan, apabila terjadi kondisi yang kurang menguntungkan. Jadi unsur condition menjelaskan sensitivitas dari usaha terhadap perubahan kondisi ekonomi dan lingkungan. Sebagai contoh, usaha makanan dan minuman pada umumnya tetap laku walaupun ekonomi dalam resesi.
Untuk mengukur faktor condition dapat digunakan parameter β atau beta. Parameter β menunjukan sensitivitas dari harga saham terhadap index misalkan IHSG (index harga saham gabungan). Apabila suatu perusahaan mempunyai β = 1, maka kinerja usaha sejalan dengan index. Apabila nilai β lebih dari satu, maka kinerja usaha akan bergerak lebih besar dibandingkan dengan perubahan index. Usaha dalam industri makanan dan minuman, farmasi pada umumnya mempunyai nilai β yang rendah dan dibawah satu.
Sebelum memberikan persetujuan kredit, bank perlu memahami bagaimana dampak perubahan kondisi lingkungan pada kondis usaha debitur, dan apa yang perlu dilakukan bank apabila situasi yang kurang menguntungkan ini terjadi? Apakah terdapat sumber pelunasan kredit lain yang dapat diandalkan?
Collateral (agunan)
Bank hendaknya tidak melihat agunan sebagai sumber pelunasan kredit, tapi sebagai upaya terakhir untuk memperoleh pembayaran. Agunan jangan diterima apabila dinilai akan sulit untuk dijual apabila terjadi permasalahan dengan usaha debitur.
Pada umumnya agunan yang diterima bank melekat pada suatu usaha tertentu, dan nilai agunan akan jatuh apabila agunan tersebut menjadi bagian dari bidang usaha nasabah. Bank kiranya dapat memahami bahwa apabila seorang nasabah tidak mempunyai komitmen untuk melunasi kredit, biasanya mereka juga tidak ada komitmen untuk memelihara kondisi agunan agar mempunyai nilai yang tinggi. Sehingga pada waktu dilakukan likuidasi, nilai agunan bank menjadi rendah.
Hal lain yang sering menjadi hambatan agar agunan berfungsi sebagai cadangan pembayaran, adalah karena pengikatan agunan tidak dilakukan secara sempurna, sehingga penjualan agunan tidak dapat dilaksanakan.
Customer Relationships
Apabila bank sudah mempunyai hubungan sebelumnya dengan nasabah, maka informasi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam keputusan kredit. Namun apabila hubungan sebelumnya belum pernah ada, maka bank harus mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk menyimpulkan, apakah bank ingin membina hubungan dengan nasabah dimaksud.
Apabila nasabah dari bank lain datang untuk memohon kredit, maka sebaiknya hal ini salah satu peringatan adanya risiko, mengapa nasabah tersebut tidak meminjam saja dari bank dimana sekarang mereka menjadi nasabah? Namun dalam era kompetisi sekarang ini, sudah menjadi kebiasaan bahwa bank semakin aktif berupaya menarik nasabah baik dari bank lain untuk menjadi nasabah mereka.
Semua yang diuraikan diatas sebanarnya tidak ada yang baru bagi bankir perkreditan. Semua sudah mengetahui dan sudah tidak asing sebanrnya buat mereka. Namun kesalahan demi kesalahan terus saja dibuat. Maka tetap diperlukan cadangan kredit bermasalah yang sekarnag disebut dengan CKPN (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai). Yang menjadi kunci mungkin perlu senantiasa mengingat kondisi yang tidak menyenangkan apabila ketemu masalah kredit macet, sehingga kedepan kita tdak perlu lagi bersusah payah mengingat dan menerapkan metode perkreditan yang benar. Pada dasarnya bank tidak menginginkan sampai harus mengelola kredit bermasalah. Dan bankir tidak perlu mengalami hal tersebut pabaila selalu mengingat apa yang tidak boleh dilakukan bankir dalam perkreditan agar kredit yang diberikan selalu dalam keadaan sehat.
Ada lima atau lebih prinsip Cs yang harus diperiksa oleh bankir: character, capacity, conditions, capital, and collaterals, yang merupakan hal yang harus dilakukan dalam proses perkreditan. Diluar itu ada lagi princip Cs yang tidak boleh dilakukan oleh bankir berpengalaman, yaitu: complacency carelessness, communication, contingencies, and competition.

Tidak ada komentar: