Peran 5Cs dalam analisa Kredit
Bankir pada umumnya sudah sangat kenal dengan yang namanya
lima C, yang digbatunakan untuk menerima atau menolak suatu permohonan kredit.
Analisa kredit merupakan proses sebelum dibuat keputusan, yang dibuat tidak
atas dasar emosi atau perasaan, melainkan atas dasar kajian mendalam atas
kekuatan dan kelemahan debitur.
Secara fundamental, analisis kredit dapat dibagi atas dua
bagian, yaitu (1) analisa kualitatif untuk memahami usaha debitur, posisi usaha
dalam industri, kondisi persaingan, ancaman pemain baru, risiko teknologi
ketinggalan jaman, dan memahami gaya manajemen dari debitur. (2) analisa arus
kas atau cash flow, dengan menggunakan laporan keuangan (neraca dan rugi laba),
dan melihat arus kas masuk (sumber dana) dan arus kas keluar (penggunaan dana).
C’s dari kredit sudah sejak lama digunakan sebagai alat
analisa dengan mempertimbangkan unsur character, capacity, capital, conditions,
dan collateral yang merupakan 5Cs untuk menghasilkan kualitas kredit yang baik.
Belakangan, kalangan bankir juga memperkenalkan tambahan beberapa C untuk 5Cs
tersebut, dan 5Cs yang berbeda untuk menghasilkan kualitas kredit yang buruk.
Dua pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya oleh para
analis kredit, yaitu (1) apakah debitur dapat membayar kewajiban? (2) apakah debitur
bekeinginan untuk membayar kewajiban.
6 Cs dari Kredit
Analisa kredit sudah berevolusi mulai dari 3C, 4C, 5C dan
sekarang sudah banyak yang menggunakan 6C dan dari kredit, sebagai berikut:
1. Character
2. Capacity
3. Capital
4. Conditions
5. Collateral
6. Customer relationships
Character, capacity, capital, conditions, dan collateral
merupakan komponen 5C yang sudah kita kenal. Customer relationships merupakan
komponen baru yang menggenapkan menjadi 6Cs.
Character (Karakter)
Karakter pada umumnya menempati urutan nomor satu dalam 5C
untuk menilai kelayakan kredit. Karakter terkait dengan pertanyaan: apakah
debitur mau membayar kewajiban pada bank?
Sebaiknya kredit diberikan hanya kalau debitur mempunyai
karakter yang baik, yang akan mempunyai komitmen untuk memenuhi kewajiban
sesuai perjanjian kredit,. Namun apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan
karakter?
Karakter dapat diartikan berbagai macam antara lain:
mempunyai moral yang baik, mencerminkan nilai yang dimiliki debitur dalam
menjaga reputasi, kejujuran dan integritas, sopan santun, percaya diri yang
tinggi, terhormat, mempunyai kualitas, dan sifat baik lainnya. Namun
kenyataannya, bersikap baik dan jujur relatif mudah dilakukan pada saat dalam
kondisi baik. Namun dalam kondisi krisis, disini karakter debitur diuji apakah
benar mempunyai karakter yang baik.
Sekarang bagaimana dengan pemberian kredit untuk perusahaan?
Apakah analis dapat menilai karakter perusahaan? Selama ini walaupun bank
berupaya tidak memberikan kredit pada debitur perorangan atau perusahaan dengan
karakter meragukan, namun tetap saja bank selalu perlu menghapus kredit
bermasalah dari waktu kewaktu. Kemungkinan bank kurang cermat dalam menilai
karakter debitur, atau karakter debitur yang dengan berjalannya waktu berubah
menjadi kurang baik.
Apakah layak memberikan kredit pada perusahaan, dimana
pemilik perusahaan menolak memberikan jaminan pribadi? Apabila orang tersebut
tidak berani mengambil risiko, mengapa bank yang harus berani mengambil risiko
tersebut? Contoh lain, bank mungkin tidak akan merasa nyaman memberikan kredit
pada debitur yang tidak bersedia menjelaskan tujuan penggunaan kredit tersebut.
Pada saat melakukan analisis, lebih baik analis konsentrasi
pada identifikasi potensi masalah, dan menilai bagaimana cara debitur mengatasi
permasalahan tersebut. hati-hati apabila debitur memberikan informasi hanya
apabila ditanya oleh bank. Satu lagi ciri debitur yang sulit dapat dipercaya,
yaitu kalau debitur tidak terus terang mempunyai kredit pada bank lain, sampai
ditemukan bahwa ada kewajiban yang belum diungkapkan oleh debitur.
Capacity (kemampuan membayar kewajiban)
Debitur walaupun mempunyai karakter baik, dapat saja tidak
mampu untuk melunasi kewajiban. Kemampuan membayar kredit tergantung kapasitas
debitur atau kemampuan menghasilkan arus kas. Dalam kasus ini, walaupun debitur
berkeinginan melunasi kredit apabila sudah jatuh tempo, namun tidak memiliki
kemampuan untuk menghasilkan kas untuk membayar kewajiban, sekaligus meneruskan
operasional perusahaan. Oleh sebab itu, analisa mendalam dari kemampuan
menghasilkan kas lebih penting diban¬ding¬kan sekedar menilai riwayat hidup
direksi atau reputasi debitur pada dunia usaha.
Tingkat kewaspaan harus ditingkatkan pada debitur yang
mempunyai riwayat kegagalan dalam usaha. Analis harus menilai kemampuan debitur
dalam menghadapi masalah, apakah debitur belajar dari kesalahan, apakah debitur
cukup memberikan wewenang pada bawahan untuk memberikan keputusan dalam
organisasi.
Sumber utama dari arus kas adalah dari operasional perusahaan,
atau operating cash flow, sebagai sumber dana untuk arus kas keluar untuk
investasi, dan biaya pendanaan. Sering dikatakan bahwa indikator untuk mengukur
kemampuan membayar kewajiban adalah EBITDA (Earning Before Interest and Tax),
Namun perlu diingat bahwa EBITDA belum memperhitungkan unsur pendanaan untuk
capital expenditure dan tambahan modal kerja. Jadi bisa saja usaha debitur
mempunyai EBITDA yang kuat, tapi tidak mampu membeyar kewajiban karena EBITDA
tersebut tersedot untuk membiayai capital expenditure dan tambahan modal kerja.
Capital (Modal)
Bagaimanapun karakter dan kapasitas perusahaan, modal tetap
diperlukan khususnya untuk membiayai investasi dan modal kerja. Sampai suatu
titik tertentu, perusahaan tidak dapat lagi mendanai berbagai kebutuhan
pendanaan, tapi memerlukan tambahan kredit modal dari bank, atau dalam bentuk
hutang dagang dari pemasok.
Untuk membatasi risiko, analis perlu melakukan evaluasi
mengenai struktur modal debitur, khususnya perbandingan antara modal dan hutang
perusahaan. Modal equity debitur sebaiknya dilihat sebagai cadangan, tidak
sebagai sumber pelunasan kredit. Dalam hal likuidasi, perusahaan harus
melakukan likuidasi aset untuk membayar sebagian kewajiban. Jadi modal
digunakan untuk melunasi kredit hanya pada saat perusahaan di likuidasi.
Modal equity terdiri dari modal yang disetorkan pemilik, dan
akumulasi dari keuntungan perusahaan, yang mencerminkan berapa besar debitur
bersedia atau berniat mengambil risiko dari usaha yang dijalankan. Jadi besar
modal juga mencerminkan karakter dari debitur.
Preferensi bank agar debitur dapat menempatkan porsi modal
lebih besar pada perusahaan sering menjadi keluhan banyak nasabah. Sering
terdengar pendapat, bahwa bank hanya memberikan kredit pada saat nasabah tidak
membutuhkan, dan berupaya menagih apabila nasabah sedang membutuhkan
kredit. Sementara nasabah sering
berkomentar, bahwa apabila mereka memiliki dana sendiri untuk melaksanakan
proyek, tentunya nasabah tidak akan ke bank untuk memohon kredit. Jadi
sebaiknya bank perlu mengkomunikasikan masalah ini dengan baik pada nasabah.
Nasabah paling tidak memiliki dana sendiri terutama pada saat permulaan proyek
seperti mendanai biaya pendahuluan, membeli sebagian aset produktif dan modal
kerja. Kredit hanya ditujukan agar perusahaan dapat melakukan produksi mencapai
titik impas dan memperoleh keuntungan.
Conditions (kondisi ekonomi)
Yang dimaksud dengan condition adalah kondisi ekonomi di
suatu negara dan kondisi industri, dimana usaha debitur berada. Bank
mengharapkan debitur dapat mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap perubahan kondisi ekonomi
dan industri. Apakah usaha akan tahan apabila tingkat penjualan menurun? Dimana
industri nasabah terletak dalam siklus bisnis, apakah termasuk usaha yang
sedang tumbuh atau sudah mature? Bagaimana daya tahan usaha nasabah apabila
ekonomi mengalami resesi? Apakah produk perusahaan mudah digantikan oleh produk
lain? Apakah produk nasabah dalam tahapan tumbuh atau sudah jenuh? Dan apakah
dapat diperbaharui dengan inovasi produk yang unggul?
Condition merupakan kondisi ekonomi dan lingkungan
perusahaan yang dapat mempengaruhi kinerja usaha. Kondisi ekonomi dan
lingkungan berada diluar kontrol langsung dari nasabah, namun bank dapat
menilai tingkat fleksibilitas manajemen menghadapi perubahan, apabila terjadi
kondisi yang kurang menguntungkan. Jadi unsur condition menjelaskan
sensitivitas dari usaha terhadap perubahan kondisi ekonomi dan lingkungan.
Sebagai contoh, usaha makanan dan minuman pada umumnya tetap laku walaupun
ekonomi dalam resesi.
Untuk mengukur faktor condition dapat digunakan parameter β
atau beta. Parameter β menunjukan sensitivitas dari harga saham terhadap index
misalkan IHSG (index harga saham gabungan). Apabila suatu perusahaan mempunyai
β = 1, maka kinerja usaha sejalan dengan index. Apabila nilai β lebih dari
satu, maka kinerja usaha akan bergerak lebih besar dibandingkan dengan
perubahan index. Usaha dalam industri makanan dan minuman, farmasi pada umumnya
mempunyai nilai β yang rendah dan dibawah satu.
Sebelum memberikan persetujuan kredit, bank perlu memahami
bagaimana dampak perubahan kondisi lingkungan pada kondis usaha debitur, dan
apa yang perlu dilakukan bank apabila situasi yang kurang menguntungkan ini
terjadi? Apakah terdapat sumber pelunasan kredit lain yang dapat diandalkan?
Collateral (agunan)
Bank hendaknya tidak melihat agunan sebagai sumber pelunasan
kredit, tapi sebagai upaya terakhir untuk memperoleh pembayaran. Agunan jangan
diterima apabila dinilai akan sulit untuk dijual apabila terjadi permasalahan
dengan usaha debitur.
Pada umumnya agunan yang diterima bank melekat pada suatu
usaha tertentu, dan nilai agunan akan jatuh apabila agunan tersebut menjadi
bagian dari bidang usaha nasabah. Bank kiranya dapat memahami bahwa apabila
seorang nasabah tidak mempunyai komitmen untuk melunasi kredit, biasanya mereka
juga tidak ada komitmen untuk memelihara kondisi agunan agar mempunyai nilai
yang tinggi. Sehingga pada waktu dilakukan likuidasi, nilai agunan bank menjadi
rendah.
Hal lain yang sering menjadi hambatan agar agunan berfungsi
sebagai cadangan pembayaran, adalah karena pengikatan agunan tidak dilakukan
secara sempurna, sehingga penjualan agunan tidak dapat dilaksanakan.
Customer Relationships
Apabila bank sudah mempunyai hubungan sebelumnya dengan
nasabah, maka informasi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam
keputusan kredit. Namun apabila hubungan sebelumnya belum pernah ada, maka bank
harus mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk menyimpulkan, apakah
bank ingin membina hubungan dengan nasabah dimaksud.
Apabila nasabah dari bank lain datang untuk memohon kredit,
maka sebaiknya hal ini salah satu peringatan adanya risiko, mengapa nasabah
tersebut tidak meminjam saja dari bank dimana sekarang mereka menjadi nasabah?
Namun dalam era kompetisi sekarang ini, sudah menjadi kebiasaan bahwa bank
semakin aktif berupaya menarik nasabah baik dari bank lain untuk menjadi
nasabah mereka.
Semua yang diuraikan diatas sebanarnya tidak ada yang baru
bagi bankir perkreditan. Semua sudah mengetahui dan sudah tidak asing sebanrnya
buat mereka. Namun kesalahan demi kesalahan terus saja dibuat. Maka tetap
diperlukan cadangan kredit bermasalah yang sekarnag disebut dengan CKPN
(Cadangan Kerugian Penurunan Nilai). Yang menjadi kunci mungkin perlu senantiasa
mengingat kondisi yang tidak menyenangkan apabila ketemu masalah kredit macet,
sehingga kedepan kita tdak perlu lagi bersusah payah mengingat dan menerapkan
metode perkreditan yang benar. Pada dasarnya bank tidak menginginkan sampai
harus mengelola kredit bermasalah. Dan bankir tidak perlu mengalami hal
tersebut pabaila selalu mengingat apa yang tidak boleh dilakukan bankir dalam
perkreditan agar kredit yang diberikan selalu dalam keadaan sehat.
Ada lima atau lebih prinsip Cs yang harus diperiksa oleh bankir:
character, capacity, conditions, capital, and collaterals, yang merupakan hal
yang harus dilakukan dalam proses perkreditan. Diluar itu ada lagi princip Cs
yang tidak boleh dilakukan oleh bankir berpengalaman, yaitu: complacency
carelessness, communication, contingencies, and competition.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar